Sejarah
Dramaturgi
Tahun 1945, Kenneth
Duva Burke (5 Mei 1897–19 November 1993) seorang teoritis literatur Amerika dan
filosof memperkenalkan konsep dramatisme sebagai metode untuk memahami fungsi
sosial dari bahasa dan drama sebagai pentas simbolik kata dan kehidupan sosial.
Tujuan Dramatisme adalah memberikan penjelasan logis untuk memahami motif
tindakan manusia, atau kenapa manusia melakukan apa yang mereka lakukan.
Dramatisme memperlihatkan bahasa sebagai model tindakan simbolik ketimbang
model pengetahuan. Pandangan Burke adalah bahwa hidup bukan seperti drama, tapi
hidup itu sendiri adalah drama. Erving Goffman (11 Juni 1922–19 November 1982),
seorang sosiolog interaksionis dan penulis, pada tahun 1959 ia tertarik dengan
teori dramatisme Burke, sehingga memperdalam kajian dramatisme tersebut dan
menyempurnakannya dalam bukunya yang kemudian terkenal sebagai salah satu
sumbangan terbesar bagi teori ilmu sosial “The Presentation of Self in Everyday
Life”. Dalam buku ini Goffman yang mendalami fenomena interaksi simbolik
mengemukakan kajian mendalam mengenai konsep Dramaturgi.
Dramaturgi dari istilah
teater dipopulerkan oleh
Aristoteles. Sekitar tahun 350
SM, Aristoteles, seorang filosof asal Yunani, menelurkan “Poetics”, hasil
pemikirannya yang sampai sekarang masih dianggap sebagai buku acuan bagi dunia
teater. Aristoteles menjabarkan penelitiannya tentang penampilan/drama-drama
berakhir tragedi/tragis ataupun kisah-kisah komedi. Untuk menghasilkan
“Poetics”, Aristoteles meneliti hampir seluruh karya penulis Yunani pada
masanya.
Dalam tragedi kerja analisis Aristoteles. Dia
menganggap Oedipus Rex (c. 429 SM) sebagai karya klasik yang dramatis. Dia
menganalisis hubungan antara karakter, tindakan, dan dialog, memberikan
contoh-contoh dari apa yang dia anggap sebagai plot yang baik, dan memeriksa
reaksi drama memprovokasi penonton. Banyak dari "aturan" sering
dikaitkan dengan "Drama Aristotelian", dimana deus ex machina adalah
kelemahan tindakan terstruktur ekonomis. Dalam Poetics ia membahas
konsep-konsep kunci banyak drama, seperti anagnorisis dan katarsis. Pada abad
terakhir analisis Aristoteles telah membentuk dasar bagi berbagai TV dan
panduan menulis film.
The Poetics adalah karya paling awal teori dramatis
Barat. Karya non-Barat awal yg bersifat sandiwara adalah Sansekerta India
"Natayasatra" ('The Art of Theatre) ditulis sekitar 100 Masehi, yang
menggambarkan unsur-unsur, bentuk dan elemen narasi dari sepuluh jenis utama
dari drama India kuno.
Bila Aristoteles mengungkapkan Dramaturgi dalam
artian seni. Maka, Goffman mendalami dramaturgi dari segi sosiologi. Seperti yang kita ketahui, Goffman
memperkenalkan dramaturgi pertama kali dalam kajian sosial psikologis dan
sosiologi melalui bukunya, “The Presentation of Self In Everyday Life”. Buku
tersebut menggali segala macam perilaku interaksi yang kita lakukan dalam
pertunjukan kehidupan kita sehari-hari yang menampilkan diri kita sendiri dalam
cara yang sama dengan cara seorang aktor menampilkan karakter orang lain dalam
sebuah pertunjukan drama. Tujuan dari presentasi dari Diri–Goffman ini adalah
penerimaan penonton akan manipulasi.
Teori dramaturgi
menjelaskan bahwa identitas manusia adalah tidak stabil dan merupakan setiap
identitas tersebut dan bagian kejiwaan psikologi yang mandiri. Identitas
manusia bisa saja berubah-ubah tergantung dari interaksi dengan orang lain.
Disinilah dramaturgis masuk, bagaimana kita menguasai interaksi tersebut. Dalam dramaturgis, interaksi sosial dimaknai
sama dengan pertunjukan teater. Manusia adalah aktor yang berusaha untuk
menggabungkan karakteristik personal dan tujuan kepada orang lain melalui
“pertunjukan dramanya sendiri”. Dalam
mencapai tujuannya tersebut, menurut konsep dramaturgis, manusia akan
mengembangkan perilaku-perilaku yang mendukung perannya tersebut. Selayaknya pertunjukan drama, seorang aktor
drama kehidupan juga harus mempersiapkan kelengkapan pertunjukan. Kelengkapan
ini antara lain memperhitungkan setting, kostum, penggunakan kata (dialog) dan
tindakan non-verbal lain. Hal ini tentunya bertujuan untuk meninggalkan kesan
yang baik pada lawan interaksi dan memuluskan jalan mencapai tujuan. Dengan
konsep dramaturgis dan permainan peran yang dilakukan oleh manusia, terciptalah
suasana-suasana dan kondisi interaksi yang kemudian memberikan makna tersendiri.
No comments:
Post a Comment