Perempuan Harus Di muliakan
Kaum wanita dalam keuadayaan
non-Islam, dari segi sosiologi dan agama sepanjang masa , termasuk kedudukan
kaum wanita di mata Bangsa Arab sebelum mereka memeluk Islam. Fakta sejarah mengatakan
bahwasannya kaum wanita belum pernah mendapatkan penghormatan dan kemuliaan
seperti yang mereka dapatkan setelah Islam datang. Abbas Mahmud Aqqad , dalam
bukunya, Wanita dalam Al-Qur’an (hlm.57) menyatakan “ Al-Qur’an datang membawa
aturan, memberikan hak asasi bagi kaum wanita yang belum pernah diberikan oleh
ajaran ataupun undang-undang apapun sebelumnya. Lebih dari itu isalm mengangkat
derajat dan kedudukan kaum wanita dari
kehinaaan menuju kemuliaan sebagaimana manusia yang dianggap selayaknya anak
cucu Adam dan Hawa, suci dari kekejian amalan syaitan dan perilaku
kebinatangan.
Dalam kebudayaan Yunani kuno, salah
satu negara dianggap maju kebudayaannya, hak asasi wanita direnggut dengan
semena-mena. Mereka tidak mempunyai kedudukan apapun selain sebagai pemuas hawa
nafu kebinatangan. Bahkan filosof Aristoteles pernah mengutuk bangsa Asbarata
karena mereka dianggap terlalu banyak memberikan kemudahan kepada kaum wanita
yang digaulinya dan membrikan hak-hak
kepada mereka melebihi kadar uuran yang lazim. Kemudahan yang dimaksud disini
ialah hak kaum wanita Asbarta dibolehkan memiliki banyak suami. Sebenarnya hak
asasi wanita Asbarta tidak sepenuhnya mereka miliki. Mereka anyak di remhkan
dan dihina undang-undangnya, kaum laki-laki diperbolehkan menikahi atau
memiliki wanita tanpa batasan jumlah. Mereka bangga dengan jumlah wanita yang
mereka miliki. Serta mengelompokkan mereka dalam tida derajat. Ketiga derajat
itu adalah istri sah, istri setengah sah
dan derajat terakhir ialahwanita yang dijadikan pemuas nafsu belaka. (
The Spirit of Islam hlm;222-223).
Kaum wanita dalam bangsa Romawi pun
nasibnya jauh lebih buruk. Lebih buruk dibandingkan dengan kaum wanita Athena.
Pologini bagi bangsa romawi merupakan kebiasaan turun-temurun yang amat di banggakan.
Kesucian suatu penikahan tidak dianggap penting oleh bangsa romawi, karena
perkawinan itu dianggap hal yang rutin yang tak berarti sama sekali, bahkan
hidup bersama tanpa menikah pun dianggap hal yang biasa dan diakui oleh
pemerintah. Tentu saja keadaan ini membuat kaum wanita menjadi hina, tidak beda
dengan barang yang di perjual belikan. (Al-Mar’atu Fil Qur’an. hal. 54)
Demikianlah nasib buruk kaum wanita
dalam masyarakat barat. Hal serupa juga dialami oleh kaum wanita dari
bangsa-bangsa timur, seperti Babilonia, Asyuwariyin, dan bangsa Parsi. Di
India, kaum wanita tidak memiliki hak asasi sama sekali bahkan hak untuk hidup
sekali pun. Bila seorang istri di tinggal mati suaminya maka dia harus rela di
bakar hidup-hidup bersama suaminya. Dia harus menceburkan dirinya kedalam api
yang tengah membakar jasad suaminya.
Dalam pandangan masyarakat
jahiliyah, kaum wanita pada umumnya sudah dianggap sangat hina, kecuali
wanita-wanita dari kabilah atau suku-suku terpandang. Perilaku bangsa Arab
kepada wanita tak kalah kejinya dengan perlakuan bangsa-bangsa lain sezamannya.
Demikian hinanya kaum wanita sehingga bangsa Arab tidak segan-segan mengubur
hidup-hidup bayi perempuan yang lahir. Barangkali, inilah perbuatan yang paling
keji dalam sejarah kemanusiaan dan moralitas. Sebagian bangsawan Arab
menganggap hal itu justru sebagai kebanggaan. Qois bin Ashim Al-Munqiri mengaku
di hadapan Rasulullah bahwa iya telah mengubur beberapa belas bayi perempuan
pada masa jahiliyah. Rasulullah sangat mengutuk perbuatannya itu sehingga Ia
memerintahkan Qais dengan berkafarah memerdayakan setiap budak untuk tiap bayi
yang di kuburkan.
Sebelum Islam datang, wanita
benar-benar jauh dari kata di muliakan. Contohnya, di bangsa Arab bayi
perempuan di kubur hidup-hidup, apabila suaminya meninggal maka istrinya di
wariskan untuk anak laki-lakinya. Kemudian di India yang menganut agama Hindu,
apabila suami meninggal maka istri harus rela ikut di bakar bersama jasad
suaminya.
(Sumber:
Islam Tidak Bermadzhab. Dr.Mustofa Muhammad Asy Syak’ah)
No comments:
Post a Comment