KONSEP-KONSEP
KEBUDAYAAN
MAKALAH
Disusun
untuk memenuhi tugas
Mata Kuliah Antropologi
Disusun
oleh :
Ahmad Nur Rosyid
(1401026100)
Ahmad Nur Rosyid
(1401026100)
FAKULTAS DAKWAH
DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI
WALISONGO SEMARANG
2015
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Kita sudah mempelajari bahwa manusia dengan kemampuan akal atau
budinya, telah mengembangkan berbagai macam sistem tindakan demi keperluan
hidupnya, sehingga ia menjadi makhluk yang paling berkuasa di muka bumi ini.
Namun demikian, berbagai macam sistem tindakan tadi harus dibiasakan olehnya
dengan belajar sejak ia lahir selama seluruh jangka waktu hidupnya, sampai saat
ia mati. Hal itu karena kemampuan untuk melaksanakan semua sistem tindakan itu
tidak terkandung dalam gen-nya, jadi tidak dibawa olehnya bersama lahirnya.
Dalam ilmu antropologi, yang telah menjadikan berbagai cara hidup
manusia dengan berbagai macam sistem tindakan tadi sebagai obyek penelitian dan
analisanya, aspek belajar itu merupakan aspek yang sangat penting. Itulah
sebabnya dalam hal memberi pembatasan terhadap konsep “kebudayaan” atau Culture
itu, artinya dalam hal memberi definisi terhadap konsep “kebudayaan”, ilmu
antropologi seringkali sangat berbeda dengan berbagai ilmu lain. Juga apabila
dibandingkan dengan arti yang biasanya diberikan kepada konsep itu dalam bahasa sehari-hari, yaitu arti yang
terbatas kepada hal-hal yang indah seperti candi, tari-tarian, seni rupa, seni
suara, kesustraan dan filsafat, definisi ilmu antropologi lebih luas sifat dan
ruang lingkupnya. Menurut ilmu antropologi. “Kebudayaan” adalah : kesuluruhan
sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan
masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar.[1]
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apakah
pengertian dari kebudayaan?
2.
Bagaimana
wujud dari suatu kebudayaan?
3.
Bagaimana
adat istiadat dan sifat dari budaya?
4.
Apa
sajakah unsur-unsur dari kebudayaan?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Kebudayaan
Budaya adalah bentuk jamak dari kata budi dan daya yang berarti cinta,
karsa, dan rasa. Kata budaya sebenarnya berasal dari bahasa Sanskertabudhayah
yaitu bentuk jamak kata buddhi yang berarti budi dan akal. Dalam bahasa
inggris, kata budaya berasal dari kata cultuur, dan dalam bahasa Latin,
budaya berasal dari kata colera. Colera berarti mengolah, mengerjakan,
menyuburkan, mengembangkan tanah (bertani). Dengan demikian ke-budaya-an dapat
diartikan : “hal-hal yang bersangkutan dengan akal”.
Dan beberapa ahli pun menyimpulkan tentang budaya atau kebudayaan
diantaranya:
1)
E.
B. Tylor, budaya adalah
suatu keseluruhan kompleks yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, kesenian,
moral, keilmuan, hukum, adat istiadat, dan kemampuan yang lain serta kebiasaan
yang didapat oleh manusia sebagai anggota masyarakat.
2)
R.
Linton, kebudayaan
dapat dipandang sebagai konfigurasi tingkah laku yang dipelajari dan hasil
tingkah laku yang dipelajari, di mana unsur pembentukan didukung dan diteruskan
oleh anggota masyarakat yang lainnya.
3)
Koentjaraningrat, mengartikan bahwa kebudayaan adalah keseleluruhan sistem gagasan,
milik diri manusia dengan belajar.
a)
Kebudayaan
nasional merupakan karya warga Indonesia, termasuk juga karya-karya orang zaman
dahulu di berbagai wilayah tanah air.
b)
Kebudayaan
nasional merupakan hasil karya warga Indonesia yang tema pikiran dan wujudnya
mengandung ciri khas Indonesia.
c)
Kebudayaan
nasional merupakan hasil karya warga negara Indonesia, dan umumnya dirasakan
memiliki nilai yang tinggi sehingga menjadi kebanggan orang Indonesia.[2]
4)
Selo
Soemardjan dan Soelaeman
Soemardi, mengatakan bahwa kebudayaaan adalah semua hasil karya, rasa, dan
cipta masyarakat.[3]
5)
Herkovits, kebudayaan adalah bagian dari lingkungan hidup yang diciptakan
oleh manusia.
6)
Malinowski yang di pengaruhi oleh William James mengemukakan bahwa teori
budaya harus di awali dari kebutuhan organis manusia.[4]
Dengan demikian,
kebudayaan atau budaya menyangkut keseluruhan aspek kehidupan manusia baik
secara material maupun non-material. Sebagian besar ahli yang mengartikan
kebudayaan seperti ini kemungkinan besar sangat dipengaruhi oleh pandangan
evolusionisme,yaitu suatu teori yang mengatakan bahwa kebudayaan itu akan
berkembang dari tahapan yang sederhana menuju tahapan yang lebih kompleks.[5]
B.
Wujud
Kebudayaan
Talcott Persons yang
bersama dengan seorang ahli antropologi A.L. Kroeber pernah menganjurkan untuk
membedakan secara tajam wujud kebudayaan sebagai suatu sistem dari ide-ide dan
konsep-konsep dari wujud kebudayaan sebagai suatu rangkaian tindakan dan
aktivitas manusia yang berpola. Maka, serupa dengan J.J Honigmann yang dalam
buku pelajaran antropologinya yang berjudul The World of Man (1959 :
hlm. 11-12) membedakan adanya tiga “gejala kebudayaan”. Yaitu (1) ideas.
(2) activities. (3) artifacts, pengarang berpendirian bahwa
kebudayaan itu ada tiga wujudnya, yaitu :
1)
Wujud
kebudayaan sebagai suatau kompleks dari ide-ide gagasan, nilai-nilai,
norma-norma, peratuaran dan sebagainya.
2)
Wujud
kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia
dalam masyarakat.
3)
Wujud
kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.
Wujud pertama adalah
wujud ideal dari kebudayaan. Sifatnya abstrak, tak dapat diraba atau difoto
karena lokasinya yang berada dalam alam fikiran warga masyarakat dimana
kebudayaan itu hidup, namun jika dinyatakan dalam tulisan maka lokasi dari
kebudayaan ideal sering berada dalam kerangka dan buku-buku hasil karya para
masyarakat.
Wujud kedua adalah
sistem sosial atau social system, mengenai pola dari tindakan manusia itu
sendiri. Sistem ini terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia itu sendiri yaitu
berinteraksi, berhubungan, serta bergaul satu dengan lain dari detik ke detik,
dari hari ke hari, dan dari tahun ke tahun, selalu menurut pola-pola tertentu
yang berdasarkan adat tata kelakuan.
Wujud ketiga disebut
kebudayaan fisik, dan tak memerlukanbanyak penjelasan. Karena berupa seluruh
total hasil fisik dari aktivitas, perbuatan, dan karya semua manusia dalam
masyarakat, maka sifatnya paling konkret, dan berupa benda-benda atau hal-hal
yang dapat diraba, dilihat, dan difoto.[6]
C.
Adat-Istiadat
dan Sifat-Sifat Budaya
Sistem Nilai Budaya, Pandangan Hidup, dan Idedologi. Sistem nilai
budaya merupakan tingkat yang paling tinggi dan paling abstrak dari adat
istiadat. Hal itu disebabkan karena nilai-nilai budaya itu merupakan konsep
mengenai apa yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar manusia mengenai apa
yang mereka anggap bernilai, berharga, dan penting dalam hidup. Dalam setiap
masyarakat, baik yang kompleks maupun yang sederhan ada sejumlah nilai budaya
yang saling berkaitan antara satu dengan lainnya sehingga menghasilkan suatu
sistem, dan sistem itu sebagai pedoman dari konsep-konsep ideal dalam
kebudayaan memberi pendorong yang kuat terhadap arah kehidupan warga
masyarakatnya.
Menurut seorang ahli antropologi terkenal, C. Kluckhohn, tiap
sistem nilai budaya dalam tiap kebudayaan itu mengenai lima masalah dasar dalam
kehidupan manusia. Atas dasar konsepsi itu, ia menyatakan bahwa setiap sistem
nilai budaya dalam tiap kebudayaan itu mengenai lima masalah dasar dalam
kehidupan manusia, selain itu ia juga mengembangkan suatu kerangka yang dapat
dipakai oleh para ahli antropologi untuk menganalisa universal tiap variasi
dalam sistem nilai budaya dalam semua macam kebudayaan yang terdapat di dunia.
Menurut C. Kluckhohn, kelima masalah dasar dalam kehidupan manusia yang menjadi
landasan bagi kerangka variasi sistem nilai budaya adalah:
1)
Masalah
mengenai hakekat dari hidup manusia.
2)
Masalah
mengenai hakekat dari karya manusia.
3)
Masalah
mengenai hakekat dari kedudukan manusia dalam wuang waktu.
4)
Masalah
mengenai hakekat dari hubungan manusia dengan alam sekitarnya.
5)
Masalah
mengenai hakekat dari hubungan manusia dengan sesamanya.
Kendati kebudayaan yang dimiliki oleh setiap masyarakat itu tidak
sama, seperti di indonesia yang terdiri dari berbagai macam suku bangsa yang
berbeda, tetapi setiap kebudayaan mempunyai ciri atau sifat yang sama. Sifat
tersebut bukan diartikan secara spesifik, melainkan bersifat universal. Di mana
sifat-sifat budaya itu akan memiliki ciri-ciri yang sama bagi semua kebudayaan
manusia tanpa membedakan faktor ras, lingkunagan alam, atau pendidikan. Yaitu
sifat hakiki yang berlaku umum bagi semua budaya di mana pun. Sifat hakiki dari
kebudayaan tersebut antara lain:
1)
Budaya
terwujud dan tersalurkan dari perilaku manusia.
2)
Budaya
telah ada terlebih dahulu daripada lahirnya suatu generasi tertentu dan tidak
akan mati dengan habisnya usia generasi yang bersangkutan.
3)
Budaya
diperlukan oleh manusia dan diwujudkan dalam tingkah lakunya.
4)
Budaya
mencakup aturan-aturan yang berisikan kewajiban-kewajiban, tindakan-tindakan
yang diterima dan ditolak, tindakan-tindakan yang dilarang, dan tindakan-tindakan
yang diizinkan.[7]
D.
Unsur-Unsur
Kebudayaan
Para sarjana antropologi yang biasa menanggapi suatu kebudayaan
(misalnya kebudayaan Minangkabau, kebudayaan Bali, atau kebudayaan Jepang)
sebagai suatu keseluruhan itu terintegrasi, pada waktu analisa membagi
keseluruhan itu kedalam unsur-unsur besar yang disebut “unsur-unsur kebudayaan
universal” atau cultural universals. Dengan mengambil dari berbagai
kerangka tentang unsur-unsur kebudayaan universal yang disusun oleh beberapa
sarjana antropologi ini, Koentjaraningrat berpendapat bahwa ada tujuh unsur
kebudayaan yang dapat ditemukan bangsa di dunia, yaitu:
1)
Bahasa
2)
Sistem
pengetahuan
3)
Organisasi
sosial
4)
Sistem
peralatn hidup dan teknologi
5)
Sistem
mata pencarian hidup
6)
Sistem
religi
7)
Kesenian
Tiap-tiap unsur kebudayaan universal dapat menjelma dalam tiga
wujud kebudayaan yaitu wujud yang berupa sistem budaya, yang berupa sistem
sosial, dan yang berupa unsur-unsur kebudayaan fisik. Tiap unsur dapat
diperinci kedalam unsur-unsur yang lebih kecil sampai beberapa kali. Dengan
mengikuti metode pemerincian dari seorang ahli antropologi bernama R. Linton,
maka pemerinci itu akan dilakukan sampai empat kali, dan dari ketujuh unsur
tadi masing-masing harus juga dilakukan dengan ketiga wujud itu.
Fungsi dari unsur-unsur kebudayaan menurut beberapa sarjana
antropologi yang mencoba mencapai pengertian mengenai masalah integrasi
kebudayaan dan jaringan yang berkaitan dengan unsur-unsur antropologi. Adapun
istilah “fungsi” itu dapat dipakai dalam bahasa sehari-hari maupun dalam bahasa
ilmiah dengan arti yang berbeda-beda. Seorang sarjana antropologi, M.E. Spiro,
pernah mendapatkan bahwa dalam karangan ilmiah ada tiga cara pemakaian fungsi
unsur kebudayaan, yaitu:
1)
Pemakaian
yang menerangkan fungsi itu sebagai hubungan guna anatara suatu hal dengan
suatu tujuan tertentu.
2)
Pemakaian
yang menerangkan kaitan korelasi antara satu hal dengan hal yang lain.
3)
Pemakaian
yang menerangkan hubungan yang terjadi anatar satu hal dengan hal-hal dalam
suatu sistem yang terintegrasi
BAB III
KESIMPULAN
Budaya adalah bentuk jamak dari kata budi dan daya yang berarti cinta,
karsa, dan rasa. Kata budaya sebenarnya berasal dari bahasa Sanskertabudhayah
yaitu bentuk jamak kata buddhi yang berarti budi dan akal. Dalam bahasa
inggris, kata budaya berasal dari kata cultuur, dan dalam bahasa Latin,
budaya berasal dari kata colera. Colera berarti mengolah, mengerjakan,
menyuburkan, mengembangkan tanah (bertani). Dengan demikian ke-budaya-an dapat
diartikan : “hal-hal yang bersangkutan dengan akal”. Dengan demikian,
kebudayaan atau budaya menyangkut keseluruhan aspek kehidupan manusia baik
secara material maupun non-material
Kemudian, adanya wujud kebudayaan yaitu, wujud pertama adalah wujud
ideal dari kebudayaan. Wujud kedua adalah sistem sosial atau social system,
mengenai pola dari tindakan manusia itu sendiri. Wujud ketiga disebut
kebudayaan fisik, dan tak memerlukanbanyak penjelasan. Karena berupa seluruh
total hasil fisik dari aktivitas, perbuatan, dan karya semua manusia dalam
masyarakat, maka sifatnya paling konkret, dan berupa benda-benda atau hal-hal
yang dapat diraba, dilihat, dan difoto.
Kebudayaan sendiri memiliki unsur, tiap-tiap unsur kebudayaan
universal dapat menjelma dalam tiga wujud kebudayaan yaitu wujud yang berupa
sistem budaya, yang berupa sistem sosial, dan yang berupa unsur-unsur
kebudayaan fisik. Tiap unsur dapat diperinci kedalam unsur-unsur yang lebih
kecil sampai beberapa kali. Dengan mengikuti metode pemerincian dari seorang
ahli antropologi bernama R. Linton, maka pemerinci itu akan dilakukan sampai
empat kali, dan dari ketujuh unsur tadi masing-masing harus juga dilakukan
dengan ketiga wujud itu.
DAFTAR PUSTAKA
Koentjaraningrat.
2000.Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: PT RINEKA CIPTA.
Saebani, Beni
Ahmad. 2012. Pengantar Antropologi. Bandung:
PT CV PUSTAKA SETIA.
Setiadi, M.Elly.2010.Ilmu
Sosial Dan Budaya Dasar. Jakarta: Kencana.
Sutardi, Tedi. 2007.
Antropologi: Mengungkap Keragaman Budaya. Bandung: PT Grafindo Media
Pratama.
Syam, Nur. 2011.Madzab-madzab
Antropologi. PT. LKiS, Yogyakarta.
[1]Koentjaraningrat,
Pengantar Ilmu Antropologi, (Jakarta: PT RINEKA CIPTA, 2000), hlm. 179-186
[2]Tedi Sutardi,
Antropologi: Mengungkap Keragaman Budaya, (Bandung: PT Grafindo Media Pratama,
2007,) hlm. 20-21
[3]Drs. Beni Ahmad
Saebani,M.Si.,Pengantar Antropologi, (Bandung: PT CV PUSTAKA SETIA, 2012), hlm.
161-162
[4]Dr.Nur Syam, Madzab-madzab Antropologi, (PT. LKiS,
Yogyakarta, 2011), hlm. 31
[5]M.Elly Setiadi,
Ilmu Sosial Dan Budaya Dasar, (Jakarta: Kencana,2010),hlm. 27-28
[6]Koentjaraningrat,
Pengantar Ilmu Antropologi, (Jakarta: PT. RINEKA CIPTA, 2000), hlm. 186-188
[7]Opcid., hlm.
30-31
No comments:
Post a Comment