Kebijakan Full Day
School, Plus Minus Lima HariSekolah
Disusun Untuk Memenuhi
Tugas
Dosen Pengampu :Dr. Hatta
Abdul Malik, S.Sos.i.,M.Si
DisusunOleh :
Ahmad NurRosyid
(1401026100)
FAKULTAS DAKWAH DAN
KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM
NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2018
Kebijakan
Full Day School, Plus Minus Lima HariSekolah
Bagi
yang setuju, kebijakan ini dianggap sebagai ikhtiar untuk meningkatkan mutu pendidikan.
Kebijakan tersebut juga bias menambah waktu kebersamaan anak-anak dengan orang
tua.Sementara yang menolaknya berargumen bahwa kebijakan ini akan menggerus keberadaan
TPQ, madrasah diniyah, dan atau pendidikan keagamaan lainnya. Kebijakan ini dianggap
tidak sesuai dengan sosiologi smasyarakat Indonesia.
Secara
filosofis kebijakan mendikbud tentang hari sekolah ditujukan dalam kerangka penguatan
pendidikan karakter (PPK). Mendikbud menimbang bahwa untuk mempersiapkan peserta
didik dalam menghadapi tantangan perkembangan era globalisasi, perlu penguatan karakter
bagi peserta didik melalui restorasi pendidikan karakter di sekolah. Restorasi pendidikan
karakter bagi peserta didik di sekolah akan lebih efektif dengan optimalisasi peran
sekolah. Caranya dengan mengatur ulang hari sekolah; dari enam hari sekolah menjadi
lima hari sekolah. Dalam praktek pendidikan di Indonesia setidaknya dikenal tiga
model pembelajaran, yakni (1) half day school atau pembelajaran setengah hari;
pembelajaran dilaksanakan 6 hari sekolah (2) full day school atau pembelajaran seharian
atau pagi hingga sore; pembelajaran dilakukan dengan 5 hari sekolah dan (3)
full day and full night, pembelajaran sepanjang hari seperti pesantren atau sistem
boarding/asrama; pembelajaran dilakukan sepanjang hari, siswa tinggal di
asrama/pondok.
Ketiga
model pembelajaran tersebut sejatinya sudah ada dan berjalan sesuai dengan kebijakan
penyelenggara lembaga pendidikan. Ada siswa yang mengikuti pembelajaran di
sekolah selama enam hari dengan waktu pulang siang. Ada juga siswa yang
mengikuti pembelajaran sekolah selama lima hari dengan waktu pulang sore hari.
Sementara ada juga, siswa yang mengikuti pembelajaran sepanjang hari karena tinggal
di lingkungan pesantren.
Secara
praktis kebijakan mendikbud tersebut agar mengubah waktu belajar siswa dari enam
hari sekolah menjadi lima hari sekolah.
Regulasi
ini akan mengikat pada pendidikan dasar dan menengah mulai dari SD, SMP, SMA. Hari
Sekolah adalah jumlah hari dan jam yang digunakan oleh guru, tenaga kependidikan,
dan peserta didik dalam penyelenggaraan pendidikan di Sekolah.Ketentuan 8
(delapan) jam dalam 1 (satu) hari atau 40 (empat puluh) jam selama 5 (lima)
hari dalam 1 (satu) minggu adalah termasuk waktu istirahat selama 0,5 (nol koma
lima) jam dalam 1 (satu) hari atau 2,5 (dua koma lima) jam selama 5 (lima) hari
dalam 1 (satu) minggu.
Secara
teoretik, mutu pendidikan sesungguhnya tidak tergantung pada lima hari atau enam
hari sekolah. Tetapi, secara factual sekolah yg menerapkan lima hari belajar memiliki
mutu yang lebih baik. Hal ini bias dilihat dari kelangkapan sarana prasarana,
kompetensi lulusan, penilaian, dan lain sebagainya. Nilai akreditasi sekolah
FDS pada umumnya lebih baik. Problem Implementasi Kebijakan 5 hari sekolah sejatinya
akan menuai beberapa problem, di antaranya:
1. Problem
sosiologis, fakta bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat beragam.
Keragaman tersebut tergambar dari etnis, agama, ras, dan antar golongan. Belum lagi
kondisi geografis masyarakat Indonesia yang tidak sama. Masyarakat pedesaan pada
umumnya akan sulit menerima kebijakan tersebut karena berbagai hal. Masyarakat perkotaan,
lebih bias menerima kebijakan 5 hari sekolah, karena kebanyakan masyarakat perkotaan
bekerja di sektor-sektor formal yang menerapkan 5 hari kerja.
2. Problem
tradisi. Selain pendidikan formal, di masyarakat kita juga tumbuh subur pendidikan
informal dan non formal. Tradisi masyarakat di Indonesia adalah pagi hari sekolah
formal, sementara siang hari mengikuti TPQ dan madrasah diniyah (sekolah arab/sekolah
sore). Kebijakan ini berpotensi mengurangi atau bahkan menghilangkan eksistensi
layanan pendidikan keagamaan Islam tersebut. Faktanya kita memiliki banyak
madrasah diniyah, TPQ, dan pondok pesantren. Setidaknya terdapat 76.566
madrasah diniyah, 134.860 TPQ, serta 13.904 pondok pesantren di Indonesia. Eksistensi
lembaga pendidikan tersebut diakui oleh Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional. Lembaga Pendidikan keagamaan tersebut juga telah tumbuh
dan berkembang atas inisiatif dan partisipasi masyarakat. Terhadap problem
kedua ini, Permendikbud Nomor 23 Tahun 2017 Pasal 5 butir 1 menyebutkan bahwa Hari
Sekolah digunakan bagi Peserta Didik untuk melaksanakan kegiatan intrakurikuler,
kokurikuler, dan ekstrakurikuler. Kegiatan keagamaan meliputi aktivitas keagamaan
meliputi madrasah diniyah, pesantren kilat, ceramah keagamaan, katekisasi,
retreat, bacatulis Al Quran dan kitab suci lainnya dapat dilakukan melalui kegiatan
kokurikuler dan ekstrakurikuler. Pelaksanaan kegiatan kokurikuler dan ekstrakurikuler
baik di dalam Sekolah maupun di luar Sekolah dapat dilakukan dengan kerjasama antar
sekolah, Sekolah dengan lembaga keagamaan, maupun Sekolah dengan lembaga lain
yang terkait. Artinya, pihak sekolah dapat bekerjasama dengan madrasah diniyah dalam
penyelenggaraan pendidikan agama. Secara teoretik ini mudah, tetapi secara praktis
sangat sulit. Sebagai contoh kecil kerjasama antara sekolah dengan madrasah
diniyah. Anak kelas II SD itu tidak otomatis adalah kelas II Madrasah Diniyah. Bisa
jadi, ada anak kelas VI SD karena kemampuan membaca Alqurannya rendah, akan masuk
kelas I madrasah diniyah.Ini tentu menjadi problem psikologis yang serius bagi peserta
didik. Belum lagi, problem-problem yang integrasi kurikulum, pengelolaan,
penilaian, pembiayaan, dan lain sebagainya. Alih-alih menguatkan program
pendidikan karakter, kebijakan ini justru bias menimbulkan problem baru.
3. Problem
praktis. Di beberapa tempat, gedung sekolah digunakan secara bersama. Ada kelas
pagi dan juga ada kelas siang. Ini juga tentu sangat merepotkan bagi pelaksanaan
pembelajaran yang memiliki keterbatasan ruang belajar. Hampir tidak mungkin,
proses belajar mengajar dapat berjalan. Secara geografis, kebijakan full day
school akan lebih mudah diterapkan untuk jenjang SMA/SMK/MA yang berada di
daerah perkotaan. Sementara, untuk daerah pedesaan apalagi untuk jenjang SD/MI,
SMP/MTs nampaknya akan mendapatkan banyak kendala. Kalaupun ada jumlahnya tidak
banyak. Oleh karena itu, sangat diperlukan kearifan pemerintah untuk melihat realita
smasyarakat Indonesia yang beragam.
No comments:
Post a Comment